Selasa, 27 Desember 2011

Mimpi Buruk Pahlawan Devisa di Tanah Jazirah*


Mimpi buruk seolah menyelimuti sanubari para pahlawan devisa di Arab Saudi. Mereka berjuang melalui niat sederhana menjemput rezeki untuk meningkatkan perekonomian keluarga meski dengan bayaran meninggalkan sebagian kehidupannya di tanah air. Semua, demi pundi-pundi Riyal yang akan ditukar ke Rupiah. Harapan-harapan itu kemudian membias setelah mereka sampai menginjakkan kaki di tanah Jazirah. Mereka kebingungan karena ternyata apa yang dirasakan sangat jauh berbeda dengan harapannya selama ini. Kontradiksi yang mereka rasakan merupakan akibat dari kurangnya keterampilan berbahasa dan pengetahuan budaya Arab, belum adanya standarisasi proses rekrutmen, dan lemahnya advokasi pemerintah Indonesia ketika mereka terlibat permasalahan di sana.

Kurangnya Keterampilan Berbahasa dan Pengetahuan Budaya Arab
Dosen Program Studi Arab FIB UI sekaligus pengamat Timur Tengah, Abdul Muta’ali, Ph.D yang menanggapi permasalahan TKW di Arab Saudi mengatakan, “para tenaga kerja yang akan diberangkatkan ke Arab Saudi haruslah diberikan pembekalan keterampilan yang memadai. Khususnya keterampilan bahasa Arab dan harus melewati rekrutmen tenaga kerja dengan persyaratan jelas yang kemudian menciptakan tenaga kerja profesional, bukan tenaga kerja baru yang mendaftarkan diri ke PJTKI namun seminggu kemudian langsung diberangkatkan.”

Tak dapat dipungkiri bahwa jika ingin sukses di negeri lain, maka mau tidak mau haruslah memahami bahasa setempat yang tentunya jauh berbeda dengan bahasa di tanah air sendiri.
Selain masalah bahasa, pemahaman budaya setempat juga menjadi hal yang penting. Misalnya, ketika seorang TKW yang bekerja di suatu rumah majikan di Arab Saudi bersikap ramah kepada majikan laki-laki. Keramahan ini bagi kita warga Indonesia, tentu adalah hal yang lumrah. Namun bagaimana jika karena perbedaan budaya, sang majikan salah mengartikannya? Keluarga yang mempekerjakannya menganggap bahwa keramahan pekerja wanita ini justru berarti ia menyukai majikan laki-laki yang kemudian memicu keributan, perlakuan tidak baik, kecemburuan sang istri majikan, dan lain sebagainya.
Hal-hal kecil seperti itu kemudian dapat melebar pada kasus-kasus besar lainnya seperti: kekerasan, pemerkosaan, juga pembunuhan yang dilakukan oleh majikan maupun oleh pekerja wanita itu sendiri sebagai bentuk pembelaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, pencerdasan budaya setempat harus menjadi prioritas utama dalam masalah tenaga kerja yang akan dikirim ke suatu negara.

Belum Adanya Standarisasi Proses Rekrutmen
Para TKW yang akan diberangkatkan bukan hanya harus dibekali dengan keterampilan bahasa dan pengetahuan budaya, namun juga harus melalui proses rekrutmen yang tepat. Maksudnya, mereka harus mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan pemerintah melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Tidak hanya itu, perlu adanya standarisasi proses rekrutmen oleh pemerintah agar penyeleksian para TKW tidak sembarangan, tetapi sesuai dengan prosedur.

Beberapa kasus yang telah menimpa para TKW dewasa ini adalah akibat dari belum adanya standarisasi proses rekrutmen oleh pemerintah sehingga berakibat pada kualitas para TKW tersebut yang cenderung kurang memiliki kualitas.

Lemahnya Advokasi Pemerintah Indonesia
Beberapa media massa memberitakan bahwa perlindungan dan advokasi bagi mereka para TKW yang bermasalah di Arab Saudi sangat lemah. Pernyataan tersebut terbukti ketika ada putusan hukuman pancung yang diberikan kepada TKW yang bermasalah, pemerintah Indonesia seolah tidak melakukan pembelaan apapun sebelum hukuman pancung tersebut diputuskan. Seharusnya pemerintah mampu mengadvokasi para TKW yang tersangkut masalah hukum di sana.

Memang, setelah adanya kasus hukum pancung terhadap Ruyati yang dilakukan sepihak oleh pemerintah Arab Saudi pada Juni 2011 silam, pemerintah Indonesia memberlakukan moratarium yaitu penangguhan sementara pengiriman TKW ke Arab Saudi sebagai bentuk protes atas perlakuan Arab Saudi terhadap TKW Indonesia. Pemberlakuan moratorium tersebut menurut Abdul Muta’ali, Ph.D adalah bagian dari usaha menaikan citra para TKW Indonesia di Arab Saudi. Benar saja, beberapa waktu setelah moratorium tersebut diberlakukan, Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi Adel Muhammad Fakih datang ke Jakarta menemui Menteri Tenaga Kerja Indonesia Muhaimin Iskandar untuk melakukan pencabutan moratorium tersebut.

Agar Mimpi Buruk Mereka Tidak Kembali Menghantui
Bangsa Indonesia tidak ingin kembali mendengar dan menyaksikan nasib-nasib buruk pahlawan devisa di Arab Saudi. Cukuplah kenyataan pahit yang telah terjadi menjadi pelajaran berharga bagi pihak-pihak terkait. Malu rasanya negeri besar gemah ripah loh jinawi ini tidak mampu mengelola sumber daya manusianya dengan baik. Fakta ini sangat kontradiktif seperti apa yang menjadi harapan Barlian Juliantoro, mahasiswa Program Studi Arab 2010 dan staf Komisi II Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FIB UI, “ Indonesia kaya dengan sumber daya alam, tidak seharusnya mengirimkan tenaga kerja ke negeri orang. Kelola sumber daya dengan baik agar sumber daya manusianya bisa menempati pos-pos yang ada.”

Demikianlah seharusnya Indonesia mampu mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusianya secara bersamaan. Sembari memperbaiki itu, bolehlah mengirimkan para pahlawan devisa ke luar sana dengan catatan adanya standarisasi proses rekrutmen dan perbaikan sistem pembekalan yang ada karena mereka adalah pahlawan negeri ini, pahlawan devisa bagi Indonesia.

 *Tulisan ini dimuat dalam buletin "Khobar" Ikatan Keluarga Asia Barat (IKABA) FIB UI edisi November-Desember 2011

Mencintai Ilmu Membangun Peradaban*


Cinta terhadap Ilmu akan membawa kita—umat islam-- pada satu proses pendewasaan dalam berpikir dan bertindak. Cara berpikir tersebut akan membuat kita sedikit demi sedikit mengasah dan memperuncing curiosity atau rasa keingintahuan kita terhadap apapun. Rasa ingin tahu itu kemudian menjadikan kita bersikap kritis dan menjadi sosok yang selalu curiga akan kebenaran yang tentu saja untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Selain itu pula akan mendorong kita untuk terus belajar demi menemukan kebenaran itu.

Bukti cinta terhadap ilmu itu bisa kita temui pada cendekiawan-cendekiawan muslim yang menjadi pelopor hebat di bidang sains modern dan disiplin ilmu lainnya yang penemuan dan teorinya masih digunakan hingga saat ini. Berawal dari motivasi tinggi untuk menguasai ilmu pengetahuan telah membawa mereka pada penjelajahan-penjelajahan intelektual yang mengasyikkan sehingga membuahkan hasil berupa penemuan-penemuan hebat dalam berbagai bidang. Penemuan-penemuan tersebut tidak muncul seketika, namun melalui berbagai perjalanan ilmiah berupa penelaahan terhadap karya yang sudah muncul terlebih dahulu, pengujian-pengujian terhadap teori yang ada, pengamatan, dan sebagainya.

Contoh yang bisa kita ambil hikmahnya yaitu kejayaan Islam yang dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah. Ilmu pengetahuan telah membuat Islam berjaya ketika Arab berada di bawah kekuasaan Khalifah Al-Ma’mun putera Khalifah Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahannya, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang tinggi oleh khalifah. Hal inilah yang mendasari kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi ketika sebuah lembaga yang bernama Bayt al-Hikmah didirikan di Baghdad (pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada waktu itu) telah menjadikan ilmu pengetahuan semakin berkembang pesat karena lembaga tersebut menjadi pusat studi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di tempat itulah para cendekiawan hebat seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al Ghazali, dan cendekiawan muslim lainnya melakukan penjelajahan intelektualnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain itu, Bayt al-Hikmah juga menjadi pusat penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, mempelajari berbagai disiplin ilmu, baik agama, sains, filsafat, dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya yang kemudian menjadi tonggak kegemilangan Dinasti Abbasiyah sekaligus umat Islam pada waktu itu.
Betapa hebatnya para cendekiawan pada masa itu. Mereka berperan dalam membangun peradaban Islam. Mereka—demikian karena amat besar kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Untuk itu, kita seharusnya semakin menyadari akan pentingnya mencintai ilmu dan berilmupengetahuan karena hal tersebut yang akan membawa kejayaan untuk diri kita, masyarakat, negara, dan tentu saja untuk Islam yang telah memberikan mengajarkan berbagai ilmu pengetahun. Perlu diketahui bahwa peradaban berkolerasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk membangun peradaban itu sendiri diperlukan sebuah keinginan kuat yang bersumber dari ilmu (Qur’an dan Hadits). Wallahu a’lam.

 *Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin PenaQT FORMASI 2 Dekade Bergerak Penuh Makna FIB UI 2010