Minggu, 04 September 2011

Bunga Ilalang (bagian 1)


Kedua matanya sesekali melirik ke layar ponsel yang ada di samping kirinya. Keningnya mengkerut memikirkan sesuatu, gelisah. Kemudian pandangannya kembali tertuju pada rentetan kata-kata pada kamus bahasa Arab supertebal yang ada di hadapannya. Wajahnya kembali terlihat serius. Ia mencoba memutar otaknya untuk mengaitkan kalimat demi kalimat hasil terjemahannya. Ia berpikir keras. Sepertinya ia tak sanggup melanjutkan itu semua, lalu ia menarik nafas panjang seperti orang yang sudah tak lagi memiliki kekuatan untuk diperjuangkan. Bolpoin hitam yang ia pegang ia gerak-gerakkan seperti seorang peneliti yang sedang berfikir tentang proyek penelitiannya. Ia kemudian menulis sesuatu di atas kertas yang beberapa menit yang lalu ia remas-remas : DIA!. Kemudian ia meremas-remas kembali kertas itu dan melemparnya ke tong sampah. Astaghfirullahal’azhiiim, lirihnya.
            Menit berlalu, tak lama kemudian, kedua matanya kembali melirik layar ponsel jadulnya itu. Sunyi. Ponsel itu teronggok membisu di atas lantai keramik yang dingin. Hatinya tak tenang seperti ada yang mengganjal, seperti ada yang menahannya untuk menyelesaikan proyek terjemahannya dengan damai, seperti ada yang menahannya untuk bernafas dengan lega. Dalam hatinya ia meringis dan bergumam, ayolah bergetar, hapeku sayang!.
Percuma. Ponselnya tak bergerak sedikitpun. Di layar itu hanya tertera Sunday, 18/04 11.00, yang artinya, hari itu hari Ahad tanggal 18 April pukul 11 tepat. Ia menarik napas panjang. Ingin rasanya ia membuang ponselnya itu dan melupakan semuanya sejenak. Ah, tapi itu tak mungkin membuatku tenang..gumamnya kembali. Kemudian ia kembali beristighfar.

“Oke baiklah, aku akan terus menunggu,” ia menatap sedih ponselnya kemudian beralih pada kertas yang berisi hasil terjemahan pidato berbahasa Arab presiden Palestina saat ini. Baru beberapa detik ia membaca kembali hasil terjemahannya itu, pikirannya mulai berkecamuk. Ia meraih ponselnya dengan cepat dan mengabaikan kamus tebal dan teks pidato yang ada di hadapannya. Ia membuka dan membaca kembali sebuah pesan yang ia kirim kepada seseorang tadi malam,
Terlalu Sibukkah?
Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu lupa dengan apa yang menjadi kewajiban kita saat ini.

Recipient :
+6221882xxxxxxxx
Sent:
17-Apr-2010
20:35:19

Singkat. Kalimat dalam pesan yang ia kirim kepada seseorang itu singkat. Ya, singkat. Amat singkat. Tapi telah membuat dirinya seolah telah menjadi orang paling berdosa karena telah mengirimkan pesan tersebut kepada seseorang yang baru beberapa bulan ia kenal.
Ia merintih dalam hati. Ia ingin menangis, namun tak kuasa. Hatinya penuh dengan kerikil-kerikil yang menyesakkan dada. Seandainya saja ia bisa berkompromi dengan waktu, ia akan membujuk waktu untuk mengembalikan semuanya. Mengembalikan situasi ketika ia sedang berada dalam titik paling pahit dalam kehidupan organisasinya untuk bersikap lebih tenang dan bijaksana.
 Ia mungkin terlalu egois atau memang ia berusaha tegar dengan badai yang terjadi dalam hatinya selama ini. Ia khawatir dengan semuanya, terlebih lagi dengan masa depan hubungan antara ia dan seseorang yang ia anggap sebagai saudara barunya itu. Dendam? Sepertinya tidak, ia hanya ingin memperbaiki semuanya agar kembali normal, namun entah mulai dari sisi yang mana. Merasa bersalah? Mungkin iya, mungkin ia merasa bersalah dengan kata-kata dalam pesan yang ia kirim semalam karena ketika ia mengirim pesan tersebut, hatinya sedang bergoncang dan emosi luar biasa. Tetapi ia menolak itu, ia merasa bahasa dalam pesan yang ia kirim semalam itu biasa saja. Entahlah. Iapun menyerah dengan keadaan yang membuatnya khawatir.
            Ia masih bersandar pada tembok bercat putih di kamarnya. Matanya terpejam, ia sudah melupakan sejenak tugas terjemahan dan ponselnya itu. Ia mengingat-ingat peristiwa tiga bulan yang lalu ketika secara tidak langsung ia disumpah untuk mengemban suatu amanah yang berat.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar lama. Ia langsung terkesiap bangkit. Sebuah telepon.  Tertera sebuah nama dalam layar ponselnya, dari seseorang yang ia nantikan balasan pesannya. jantungnya berdegup kencang seolah akan bergeser dari tempatnya.
Klik. Ia mengangkat telepon itu tanpa suara.
“Assalamu’alaikum, tolong cek email.” Suara seseorang di balik telepon.
Telepon terputus.

---cerita bersambung---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar