Senin, 01 Agustus 2011

Rehan dan Puasa Pertamanya

Sore itu langit biru muda. Angin sepoi menggoyang pepohonan di luar sana. Bergoyang kesana kemari, bergerak perlahan seolah-olah sedang saling sapa satu sama lain. Sore itu sejuk sekali udaranya, tidak seperti biasanya.
Di sejuknya sore itu terjadi perbincangan sebuah keluarga kecil di teras rumah yang sederhana. Mereka duduk di atas kursi kayu yang mengelilingi meja bundar. Di atas meja itu tersedia sepiring pisang goreng dan 3 gelas teh manis hangat. Seorang bocah lelaki berusia 7 tahun mematung dalam duduknya dengan dahi yang mengkerut.
“Bunda, Ayah, besok kan kita puasa kan?” Tanya Rehan bocah 7 tahun itu dengan antusias dan penuh keyakinan.
“Iya Rehan sayang” jawab bunda tersenyum kemudian mengambil segelas teh manis hangat dan meminumnya.
“Puasa itu tidak makan dan tidak minum kan, Ayah” Tanyanya lagi.
“Iya, puasa itu kita tidak makan dan tidak minum dari sebelum terbit fajar sampai terbenam matahari” jawab Ayahnya.
Dahi Rehan mengkerut. Wajahnya terlihat agak ketakutan. Masalahnya besok adalah hari yang bersejarah bagi bocah 7 tahun itu. Besok adalah puasa pertamanya di bulan Ramadhan tahun ini. Sebelumnya ia belum pernah berpuasa selama Ramadhan. Rehan menyandarkan tubuhnya di kursi sambil berpikir kemudian memandangi Bunda dan Ayahnya yang juga memasang wajah khawatir terhadap anaknya.
Rehan jadi teringat kata-kata Bapak Anwar, guru agamanya di SD Islam Terpadu Al-Izzah. Dari sekarang anak-anak sudah harus belajar puasa ya. Pahala di bulan Ramadhan ini sangat banyak dan dilipatgandakan oleh Allah. Jadi harus bersungguh-sungguh, jangan sampai kita berpuasa hanya lapar dan haus saja. Begitu pesan Bapak Anwar dua hari yang lalu di sekolah.

“Yaaah…” Rehan memanggil Ayahnya dengan nafas yang berat. “Puasa itu tidak makan dan tidak minum, terus kita kelaparan dong?” tanyanya lagi.
Bunda dan Ayah tersenyum dan sedikit tertawa menyaksikan kepolosan anaknya.
“Terus, dede bayi yang ada di perut Bunda kelaparan juga dong? Kan kasihan….” Rehan menundukkan wajahnya, wajahnya terlihat sedih. Bunda dan Ayahnya saling berpandangan kemudian tersenyum.
“Rehan sayang, puasa itu memang kita tidak makan dan tidak minum tapi ada batasnya. Setelah azan maghrib kita akan berbuka puasa dan sebelum azan subuh kita makan sahur. Jadi kita tidak akan kelaparan” Bunda menjelaskan dengan lembut.
“Oooh, berarti tidak kelaparan ya Bunda. Dede bayi juga kan?” kedua mata Rehan berbinar.
“Iya, dede bayi juga” jawab Bunda
            “Eh, tapi ada juga loh yang kelaparan di bulan Ramadhan” Ayah menambahi. Mencoba membuat Rehan semakin penasaran.
            Rehan langsung terbangun dari sandaran di kursinya. Ia menegakkan tubuhnya dan menyilakan kedua kakinya di atas kursi yang ia duduki. Kedua matanya menatap Ayah dengan perasaan ingin tahu yang dalam.
            “Oh, ada ya Yah? Tapi kan kata Bunda tadi kita akan berbuka dan makan sahur” Rehan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung.
            “Iya ada” jawab Ayah.
            “Siapa, Ayah? Siapa?” Rehan penasaran.
            “Yaitu orang-orang yang ketika berpuasa, ia tidak menjaga lisannya dalam berbicara, orang yang tidak bisa menahan amarahnya. Nah, orang-orang itu tidak akan mendapat pahala puasa. Yang mereka dapat hanya lapar dan hausnya puasa” Ayah menjelaskan.
            “Oh begitu” Rehan manggut-manggut, tangan kanannya mengusap-usap dagunya.
            Bunda dan Ayahnya saling berpandangan dan kemudian tersenyum lagi.
            “Nah, untuk itu, Rehan harus berbicara yang baik-baik ketika sedang berpuasa. Rehan harus bisa menahan amarah, tidak boleh emosi. Harus sabar seperti Rasulullah. Jika ada yang membuat Rehan marah, Rehan bilang saja sedang berpuasa. Begitu Rehan sayang.” Bunda menambahkan dengan suara yang lembut.
            “Oke, sip.” Rehan mengacungkan kedua jempol tangannya dan memamerkan seluruh giginya karena senyumnya yang lebar. Ia kembali teringat dengan pesan dari Bapak Anwar, jangan sampai puasa hanya menahan lapar dan haus. Ia bertekad dalam hatinya untuk berpuasa dengan bersungguh-sungguh selama sebulan penuh. Ia tidak ingin hanya menahan lapar dan haus tanpa pahala puasa. Ia ingin latihan pertamanya di Ramadhan tahun ini sukses.
            “Oh iya, di bulan Ramadhan kita juga belajar banyak loh Rehan. Bukan hanya menahan amarah dan bersabar serta menjaga lisan ketika berbicara saja ” Ayah kembali memancing keingintahuan Rehan.
            “Apa itu Ayah? Tanya Rehan Penasaran.
            “Di bulan Ramadhan ini, Rehan akan merasakan bagaimana rasanya lapar dan haus kan?” Tanya Ayah.
            Rehan mengangguk, matanya masih menatap Ayah. Ia masih menunggu kalimat Ayah selanjutnya.
            “Nah, untuk itu kita harus berbagi dengan sesama. Dengan orang-orang yang kurang beruntung di sekitar kita. Orang-orang yang mungkin tidak hanya berpuasa pada hari-hari di bulan Ramadhan tetapi juga mungkin berpuasa hampir setiap hari karena tidak memiliki cukup uang untuk makan.” Ayah menjelaskan.
            “Jadi bulan Ramadhan ini juga adalah bulan untuk berbagi, sekaligus bersabar serta bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Begitu Rehan jagoan Ayah.” Ayah menambahkan.
Rehan mengangguk dalam. Semangatnya semakin membara untuk berpuasa esok hari.
“Rehan mau puasa berapa hari?” Tanya Bunda.
“Sebulan penuh, Bunda. In…sya Allah.” Jawab Rehan dengan penuh percaya diri.
“Rehan yakin?” kini Ayah yang bertanya.
“Yakin, Yah. Yakin…” Jawab Rehan semangat.
“Bagus-bagus. Tapi kalo Rehan tidak kuat, boleh setengah hari saja puasanya. Kan masih latihan.” Bunda menasehati.
“Tidak Bunda, in..sya Allah Rehan kuat. Rehan mau puasa sebulan penuh.” Jawab Rehan penuh keyakinan dan semangat empat lima.
“Eits, tapi selama puasa Rehan tidak boleh kebanyakan tidur ya.” Ledek Ayah sambil menggoyangkan telunjuk kanannya ke kanan dan ke kiri.
“Emang kenapa, Yah.? Rehan penasaran.
“Pahala di bulan Ramadhan ini kan dilipatgandakan Allah sampai 70 kali lipat. Jadi jangan disia-siakan. Rehan bisa menggunakan kesempatan ini untuk banyak beribadah dan berbuat baik kepada sesama.” Kali ini Bunda yang menjelaskan.
“Contohnya, Bun?” Rehan semakin penasaran.
“Misalnya membaca Al-Qur’an, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, membaca buku-buku yang bermanfaat, menolong Bunda menyiapkan makanan untuk berbuka dan sahur, menolong Ayah, dan juga menolong orang-orang yang kesusahan.” Bunda menambahkan.
“Oh begitu. Oke..oke..” Rehan kembali manggut-manggut.
Kini langit memerah. Azan maghrib berkumandang dari masjid di ujung perumahan. Merdu sekali suaranya. Rehan, Bunda, dan Ayah terdiam mendengarkan azan dengan seksama. Rehan sudah membayangkan esok hari di waktu yang sama yaitu waktu maghrib di mana Ia akan berbuka puasa di hari pertamanya berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini.
“Selamat datang Ramadhan!” Rehan berteriak dengan kepalan tinju ke atas langit.
Bunda dan Ayah tertawa. Kemudian mereka bertiga bangkit dari duduknya lalu masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap sholat maghrib berjama’ah di masjid ujung perumahan.

Akhir Bulan Sya’ban 1431H
*Cerpen ini telah diterbitkan dalam proyek buku kumpulan cerpen Beramal Lewat Cerita (BLC) bersama kawan-kawan aktivis situs penulis lepas kemudian.com dan beberapa cerpenis mahasiswa Universitas Indonesia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar